Lilypie - Personal pictureLilypie Kids Birthday tickers

Minggu, 03 April 2011

Libya Terancam Kelaparan

MISI KE LIBYA. Sebuah jet tempur Mirage 2000-5 lepas landas dari pangkalan udara militer 126 - Capitaine Preziosi di Solenzara, Corsica, pulau Mediterania Prancis.

MISRATA - Pasukan koalisi terus menyerang, loyalis Muammar Kadhafi terus melawan. Buntut konflik bersenjata yang sulit diprediksi kapan berakhir itu adalah terjadinya krisis kema­nusiaan. Tentu saja, yang paling menderita adalah warga sipil.
Sebagaimana dilaporkan Was­hington Post, di rumah sakit utama di Misrata, kota di Libya Barat yang kembali jatuh ke tangan pemberontak setelah pro-Kadhafi dihajar selama 12 jam oleh serangan udara koalisi, kondisi pasien dan perlengkapan medis serta pendukungnya amat memprihatinkan.
Pasien-pasien dirawat di lantai, peralatan medis dan obat-obatan sangat terbatas, air bersih sudah lama berhenti mengalir, dan listrik hanya mengandalkan satu generator.
Padahal jumlah korban sangat banyak. Akibat serbuan pasukan pro-Kadhafi selama lima hari –dan tak menutup kemungkinan karena serangan udara koalisi juga–, korban meninggal hampir mencapai 100 orang. Setelah lima hari merangsek ke Misrata, pro-Kadhafi mulai beringsut pergi kemarin seusai dihajar serangan udara selama 12 jam oleh pasukan koalisi.
”Lima hari terakhir benar-benar seperti neraka. Rumah sakit sudah tak kuasa menampung. Sembilan puluh empat orang meninggal, 60 di antaranya warga sipil. Yang luka-luka mencapai 1.300 orang,” ungkap Mohammed Ali, seorang teknisi yang bekerja di rumah sakit utama di Misrata, kepada Reuters melalui sambungan telepon.
Saking tak berdayanya para dokter dan paramedis menghadapi jumlah pasien yang membeludak dengan perlengkapan serba terbatas, yang kondisinya tak kritis langsung dipulangkan. ”Saya berkali-kali melihat mereka yang baru diamputasi kakinya disuruh pulang,” jelas Ali.
Kelaparan juga mulai mengancam, terutama di kota-kota yang dikuasai pemberontak. Misalnya, Misrata dan Benghazi. Hal itu juga terjadi di kota yang masih diperebutkan secara ketat oleh dua pihak. Contohnya, Ajdabiya. Di Ajdabiya, selama sembilan hari terakhir tak ada pasokan listrik dan air bersih sama sekali.
Hampir semua toko tutup karena tak ada suplai atau karena faktor keamanan. Di Misrata, misalnya, kendati tank-tank milik loyalis Kadhafi telah terusir, masih banyak sniper yang tak hanya menyasar pemberontak, tapi juga warga sipil.
Menurut Washington Post, berbagai lembaga bantuan internasional tak bisa menembus kota-kota yang menjadi ajang pertempuran dua kubu seperti Misrata dan Ajdabiya. Mengenai kemungkinan militer AS turut mendistribusikan bantuan, seorang pejabat pemerintahan Negeri Paman Sam menyatakan bahwa opsi itu masih terbuka. ”Semua opsi masih memungkinkan,” ujar si pejabat yang identitasnya dirahasiakan tersebut.
Di tengah berbagai kesulitan itu, beruntung Komite Palang Merah Internasional menyatakan telah berhasil mengirim dua ribu ton makanan ke kota-kota di bagian timur Libya. Juga, sejumlah peralatan serta obat-obatan untuk merawat sekitar 40 ribu pasien.
Bantuan-bantuan itu berhasil dibawa dengan truk yang masuk melalui perbatasan Libya-Mesir atau lewat Benghazi yang dikontrol pemberontak. Tapi, bantuan masih sulit masuk ke kota-kota di mana pro-Kadhafi masih kuat. Padahal kebutuhan pangan sangat mendesak karena sudah amat langka. Apalagi selama ini Libya sangat mengandalkan pasokan pangan dari impor.
Kalaupun ada, harganya tak terjangkau warga kebanyakan karena saking mahalnya. Harga tepung, misalnya, mencapai dua kali lipat. Harga beras juga naik hingga 88 persen dan minyak goreng meroket 58 persen. ”Kalau kondisinya terus seperti ini, tentu sangat mengkhawatirkan (karena bisa terjadi kelaparan),” tegas Abeer Etefa, juru bicara World Food Program, di perbatasan Mesir-Libya.
Karena itu, lanjut dia, pihaknya berencana melakukan operasi darurat untuk menyuplai makanan kepada sekitar 600 ribu warga sipil di sejumlah kota yang saat ini terancam kelaparan.
Seorang pejabat pemerintahan AS juga menuturkan bahwa sekitar 80 ribu warga sipil di Libya saat ini tak punya tempat tinggal atau terusir paksa. ”Jumlah riilnya bahkan mungkin bisa lebih tinggi,” ungkap si pejabat itu kepada Washington Post.
Laksamana Madya Gerard Hueber, kepala staf Operasi Perjalanan Fajar, menegaskan bah­wa pihaknya akan te­tap menyerang basis-basis pertahanan Kadhafi di Misrata, Ajdabiya, dan kota-kota lain. Namun, dia mengaku ada kesulitan besar yang menghadang. Yakni, taktik pasukan Kadhafi yang bersembunyi di area padat warga sipil.
Kesulitan lain adalah tak adanya koordinasi antara koa­lisi dan pemberontak yang secara legal memang tak diizinkan PBB. Hueber sempat keceplosan menyebutkan adanya koordinasi itu, tapi buru-buru dianulir. ”Kami justru punya jalur komunikasi langsung dengan rezim Kadhafi. Kami selalu meminta pasukan mereka keluar dari wilayah sipil, tapi selalu tak ditanggapi,” ujarnya sebagaimana dikutip The Guardian.
Yang pasti, Hueber dan seluruh anggota koalisi mengakui, merontokkan rezim Kadhafi tak mungkin dilakukan hanya dalam hitungan hari. ”Mungkin hitungan bulan,” kata Alain Juppe, menteri luar negeri Prancis, sebagaimana dilansir AFP. (c5/ttg)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More